Sabtu, 18 Februari 2012

Vino Yang Malang

Tiba-tiba.....
Kedubrak... "Maaf bu saya terlambat" kata Vino yang baru mendobrak pintu kelas layaknya sebuah kardus.
"Apaan-apaan kamu Vin" bentak guru gw yang sedang mengajar. "Kamu udah terlambat, gak sopan lagi" tambahnya. Semua terdiam, seharusnya dia tidak melakukan itu, Bu Lina guru paling galak di sekolah ini. Pertama gw masuk sekolah ini begitulah perasaan gw dengan ibu itu, namun ya teman-teman pun berkata demikian.
"Keluar kamu" bentak Bu Lina. "Bu saya-" seharusnya Vino tidak melawan. "Yaudah keluar sana" tambah Bu Lina lagi sebelum Vino menyelesaikan kalimatnya.
Bagi kalian yang berada di kelas gw tahun ini, vino yang diluarkan dari kelas sudah sarapan kami setiap pagi. X-A itulah kelas yang sering di sebut sebagai kelas terancur dari 5 kelas yang ada. Ini semua gara-gara Vino, begitulah mereka menuduhnya.
Mulai dari dikucilkan sampai dengan tidak di ajak masuk kelompok. Sangat menyedihkan memang, tapi mau gimana lagi dia nya juga seperti itu. Mulai dari fisiknya yang gak jelas sampai kelalukannya yang agak malesin.
....
"Oi..." tegurnya setelah pelajaran Bu Lina selesai dan dia masuk kelas. "Boleh gw duduk di sini" tambahnya lagi sambil melihat tempat duduk sebelah gw kosong.
"Iya udah" jawab gw polos.
"Makasih lalu dia duduk di samping gw.
2 menit kami diam. Lalu gw memecah kehenigan dengan sebuah pertanyan "Napa lu terlambat??"
Tapi sepertinya dia tidak menghiraukan pertannyaan dari gw. Setelah gw  mengurungi niat gw mendengar jawabannya diapun akhirnya menjawab "itu ada masalah di rumah"
Kami terdiam lagi, sampai peljaran berakhir tidak ada perkataan yang terucap dari mulut gw ataupun Vino.
Teet......
Bel berbunyi dan gw melihat di hendak keluar dari kelas. “Vin, tunggu” teriak gw. Dia hanya melihat gw dengan aneh. Lalu di menjawab “kenapa??”
“Gw ikut ke kantin dong?”  tanya gw.
“Yaudah” jawabnya agak bete
Lagi-lagi tidak ada suara diantara kita sampai menuju kantin. Sudah dua bulan sejak MOS berakhir Vino tidak pernah ngomong dengan teman-teman lain selain gw.  Itu juga karena gw yang nanya.
“Gak makan?” Vino bertanya. Gw pun tidak bisa langsung jawab di detik itu. Gw memerlukan waktu kira-kira 13 detik untuk menjawabnya. Itu kalimat pertamanya mengajak gw ngobrol.
“ Gak kok, gw masih kenyang “ jawab gw. Dia lalu measukan sebuah baso kemulutnya.
“Tumben lo ngomong Vin, selama ini kan sukanya diem aja” tanya gw penasaran. Sebenarnya gw takut bertanya tentang ini. Mungkin pertanyain ini membuat dia terhina dan semakin depresi seperti biasanya.
“Soalnya elo orang pertama yang udah mau jadi temen gw” katanya terharu. Gw bisa melihat penuh haru dimatanya. Dia membutuhkan teman. Tapi semuanya tidak menyadari itu.
“Oke kata gw. Gpp” kata gw. Lalu gw menjadi ingin mengetahui dia lebih lanjut tentang kehidupannya. Mengapa ia sering di jauhi di sekolah?
“Tapi ada satu syarat untuk jadi temen gw, boleh gw maen kerumah elo hari ini?”
Dia terkejut mendengarnya. Seakan dia baru saja memenangkan hadiah undian sebesar 5 juta rupiah.
“I..iya udah” jawabnya dengan berat hati. Seperti yang sudah gw duga di menyimpan rahasiannya dirumah.
“Oke deh, nanti bearati kita pulang bareng “ gw langsung meninggalkannya makan. Dia terlihat seperti kebingungan menghadapi kenyataan ini. Tapi maaf  Vino gw harus tahu siapa elo sebenarnya.
.....
Seperti biasanya, kami pulang bersama tanpa percakapan sedikitpun. Hanya suara sepeda motor dan beberapa kendaraan kecil yang melintas Jalan Dipononegoro 400 meter daei sekolah gw.
Ada apa ini? Vino sudah menunjukan perubahannya 4 jam yang lalu. Apakah dia akan kembali lagi? Dia tidak berkata apa-apa sejak kami meninggalkan sekolah.
Beberapa saat dia diam. Disini gw lihat ada sebuah rumah-yah-boleh di bilang sederhana, namun sangat kacau di bagian depannya. Pintu patah terbuka, jendela yang pecah di sebelah kanan dan engsel yang patah di jendela sebelah kiri. Begitu juga dengan taman rusak membuat mata buta dan cat rumah yg sudah kusam.
Menyedihkan...
"Ini rumah gw" katanya dengan pasrah.
"Ooo... Lumayan" jawab gw dengan berbohong. Sejujurnya itu jelek sekali buat sebuah rumah.
"Brak" dia menendang pintu depan. Pintu itu lalu terjeplak kebelakang. Namun dia tidak merasa bersalah merusak pintu itu. Gw pikir memang begitu cara bukanya.
Lalu kami berjalan masuk kedalam, hanya beberapa detik gw sadar bahwa ada yang tidak beres didalam ruangan tersebut.  Kusir bergeletak terbalik, lukisan dinding berwajah Hitler yang sobek sebelah dan meja makan berdebu menjadi pemandangan kami saat masuk kedalam.
“Sori ya berantakan” katanya seakan membaca pikiran gw. Gw tidak menjawab pertanyaannya kala itu. Kami berbelok menuju suatu ruangan yang kira-kira hanya sebesar 2x3 meter yang didalamnya boleh dibilang tidak layak untuk di tempati.
“Ini kamar gw” katanya dengan pasrah lagi dan juga dengan nada yang sama. “Yah lumayan lah” jawab gw. Dia kemudian melemparkan tas sekolahnya ke pojok kamarnya. “Jadi lu kesini mau apa gak ada apa-apanya kan rumah gw” katanya namun belum sempat gw menjawab “Gw tinggal sendiri disini” tambahnya, dan sekarang dia merebahkkan tubuhnya ke tempat tidur kotor itu.
“Jadi ini yang menyebabkan lo ansos di sekolah?” gw duduk di kasur itu. Lama menunggunya untuk menjawab pertanyaan itu. Ekspresi mukanya juga agak berbeda dari yang sebelumnya.
“Tidak juga, tapi...” jawabnya yang gw kira sangat kebingungan. “Gw hanya tidak suka ada yang tahu tentang diri gw ini, setiap harinya gw bekerja yang gak bener” jelas Vino yang sepertinya membeberkan rahasianya. Gak bener? Apa maksudnyanya itu. Bekerja di waktu SMA sangatlah biasa di sekolah gw, maklum sekeloh gw adalah sekolah negri yang lumayan-ya boleh dibilang hancur. Tapi apa maksud Vino tentang pekerjaannya.
“Emang apa pekerjaan elo??” tanya gw dengan nada agak bingung.
“Judi Fan” jawabnya. Tersentak gw kaget mendengar ucapnya. Apa yang dia pikirkan? Judi adalah pekerjaan haram dan yang pasti pekerjaan seperti ini harus memiliki banyak duit. Namun bagaimana dengan Vino? Jangankan duit untuk judi untuk bayaran sekolah saja dia masih nunggak beberapa bulan.
“Jadi lo mempertaruhkan semuanya untuk uang itu?” gw berdiri kaget tidak tahan melihat kelakuannya selama ini. “Yah begitulah” jawabnya enteng.
“Gw merahasiakan ini kesumuanya agar tidak ada yang tahu, lalu gw pura-pura bego di kelas di setiap mata pelajaran dan melakukan kejelekan agar mereka menganggap gw hanya sebagai murid buangan. Tapi inilah yang terjadi...” jelasnya kemudian dia berdiri dan menatap keluar jendela. Semuanya sekarang sudah jelas, vino dalam masalah besar.
“Gila lu ya? Lo kan bisa minta bantuan gw” kata gw keras. Namun anehnya dia tidak marah. Dia semakin khusuk melihat langit cerah diluar jendela kamarnya seperti menunggu bintang jatuh.
“Semua sudah terlambat gw sudah terljur menjudikan tanah ini dan semua barangnya. Gw menggunakan nomor undian untuk judi ini” mukanya seakan tidak memiliki dosa dalam perkataannya tersebut.
“Oke, gw udah ngak tahan atas semua kegilaan elo” kata ge emosi.
“Sekarang bagaimana hasilnya? Apakah lo menang atau kalah” tanya gw menggertak.
“Sebentar lagi pengantar hasilnya akan datang”
“Sore ini juga” katanya seakan penuh keyakinan untuk menang. Tapi itu tipis sekali perbandingannya satu banding.
Tin....Tin.....
Sebuah klakson sepeda motor terdengar. Suaranya seakan membuat nyawa gw terambil, teman gw akan kehilangan semuanya jika ia kalah. Tapi anehnya Vino terlihat tenang-tenang saja. "Sepertinya itu...” jawabnya enteng. Kemudian dia keluar dari kamarnya gw. Vino menyuruh gw untuk tinggal dikamar. Rasa gelisah menyelimuti hati gw.
Brak...... prang....
Suara itu terdengar keras di luar kamar Vino. Refleks gw langsung berlari menuju membuka cepat pintu itu, dan? Hanya sebuah pecahan kaca dan meja terbalik tanpa ada sebuah pelaku yang melakukannya. Gw menengok ke arah pintu depan, pintunya terbuka lebar hanya angin yang berhembus masuk.
“Vino....” kataku muram.
Gw memcoba ke arah belakang rumah. Disana hanya ada satu ruangan dan gw mencoba masuk kedalamnya. Tapi sebelum gw masuk kedalam ada sesuatu bergeletak di lantai. Sebuah surat. Gw mengambil dan membaca isinya.
“hah....tidak mungkin” gw tercengang setelah membaca itu. Dia kalah dalam taruhannya. Barang-barangnya dan rumah tempat tinggal Vino akan diambil besok. Gw langsung memikirkan perasaan Vino setelah membaca surat ini. Apa dia akan...- ah jangan apa yang gw pikirkan dia tidak mungkin bunuh diri. Gw langsung membuka kamar tersebut pelan-pelan. Sekarang gw hanya bisa mendengar suara detak jantung gw dan gesekan pintu ini.
“Tidak mungkin...” gw langsung menutup muka gw dari penglihatan di tengah kamar ini. Vino bergantung pada sebuah tali tambang kuat denga leher diikat. Tidak gw sangka, nama gw Ifan kelas x-a sebagai teman pertama vino harus melihat akhir hayatnya di hari yang sama

1 komentar: